Sabtu, 16 Februari 2008

PEPOHONAN TIDAK MAMPU CEGAH GLOBAL WARMING



Kontributor: CDC-FTUI (05.11.2007 14:37)
Pepohonan ternyata tidak mampu meminimalisir meluasnya global warming. Dibutuhkan banyak asupan air dan nutrisi untuk bisa mempertahankan pohon sebagai pencegah global warming. KENAPA????
Awalnya pepohonan diduga dapat menghisap karbondioksida dan menyemburkan oksigen ke atmosfer bumi. Banyaknya pepohonan pun akan semakin banyak menyerap karbondioksida yang secara otomatis akan mencegah perluasan global warming. Para ilmuwan di Universitas Duke, Carolina Utara, telah menanamkan pohon pinus setiap hari selama 10 tahun. Diharapkan pohon-pohon tersebut akan menyerap banyak karbondioksida. Namun dalam penelitiannya, hanya beberapa pohon saja yang dapat menyerap karbon dengan maksimal. Pohon-pohon tersebut ternyata memiliki kelebihan asupan air dan nutrisi yang berakibat mampu menyerap karbon lebih banyak. Pohon jenis inilah yang mampu membantu mencegah global warming.
Proyek yang diadakan Departemen Energi, yang diberi nama eksperimen Free Air Carbon Enrichment (FACE), membandingkan empat hutan pinus yang menerima gas karbondioksida. "Pada beberapa wilayah, pertumbuhannya mencapai 10 persen atau lebih sedangkan di wilayah lain mencapai 40 persen lebih. Wilayah dengan capaian 40 persen tersebut ternyata kaya akan sumber air dan nutrisi pohon," ujar Direktur FACE project, Ram Oren, seperti dilansir Live Science, Senin (13/8/2007). Dengan demikian, tambah Oren, jika ketersediaan air menurun di satu wilayah pepohonan, secara tidak langsung akan semakin meningkatkan kuantitas karbondioksida. "Artinya kita tidak lagi memiliki media untuk meminimalisir karbon yang merupakan penyebab dari pemanasan global," pungkasnya. Satu-satunya cara, menurut Oren, adalah memberikan air berkualitas dengan kuantitas yang baik untuk pepohonan dengan cara memfertilisasi seluruh wilayah. Fertilisasi sangat diperlukan karena saat ini air sangat jarang ditemukan. (Sumber: http://hameedfinder.blogspot.com/2007/08/pepohonan-tidak-mampu-cegah-global.html)

Satu Miliar Orang Akan Kehilangan Tempat Tinggal Akibat Global Warming

Satu Miliar Orang Akan Kehilangan Tempat Tinggal Akibat Global WarmingLondon (ANTARA News) - Sedikitnya satu miliar orang menghadapi risiko kehilangan tempat tinggal mereka selama empat dasawarsa mendatang akibat konflik dan bencana alam yang akan bertambah parah dengan pemanasan global (global warming), demikian peringatan sebuah badan bantuan, Senin.Dalam laporannya, Christian Aid, yang berpusat di Inggris, menyatakan negara di seluruh dunia, terutama negara paling miskin, sekarang menghadapi perpindahan penduduk terbesar karena terpaksa -- kondisi yang akan membuat pengungsian akibat Perang Dunia II jadi tak berarti.Dalam apa yang saat itu menjadi "pengungsian penduduk terbesar dalam sejarah modern", katanya, 66 juta orang kehilangan tempat tinggal di seluruh Eropa sampai Mei 1945, selain beberapa juta orang lagi di China.Kini, sebanyak 163 juta orang di seluruh dunia telah kehilangan tempat tinggal akibat berbagai faktor seperti konflik, kemarau dan banjir serta proyek pembangunan ekonomi seperti bendungan, pembalakan dan perkebunan gandum, katanya."Kami percaya bahwa migrasi terpaksa sekarang menjadi ancaman paling mendesak yang dihadapi rakyat miskin di dunia berkembang," kata John Davison, penulis "Human Tide: the real migration crisis".Meskipun jumlah tersebut sudah "sangat tinggi", laporan tersebut memperingatkan bahwa "pada masa depan, perubahan iklim akan mendorongnya jadi lebih banyak lagi"."Kami memperkirakan bahwa selama beberapa tahun antara sekarang dan 2050, sebanyak satu miliar orang akan kehilangan tempat tinggal mereka", demikian antara lain isi laporan setebal 52 halaman itu, seperti dikutip AFP.Jumlah tersebut meliputi 645 juta orang yang bermigrasi akibat proyek pembangunan, dan 250 juta orang karena fenomena seperti pemanasan global seperti banjir, kemarau dan kelaparan, katanya.Konflik di wilayah Darfur, Sudan barat, yang telah membuat lebih dari dua juta orang kehilangan tempat tinggal, katanya, bukan hanya dipicu oleh kekuatan politik tapi juga disebabkan oleh persaingan untuk memperoleh lahan untuk menggembalakan ternak serta air, yang kian langka."Para ahli keamanan khawatir bahwa migrasi baru ini akan menyulut konflik yang tak pernah terjadi sebelumnya dan memicu masalah baru di berbagai daerah di dunia --terutama di negara paling miskin -- tempat sumber daya alam paling langka," kata satu pernyataan yang menyertai laporan itu."Satu dunia dengan banyak Darfur kian menjadi mimpi buruk," katanya.Masalahnya makin mengkhawatirkan sementara mereka yang kehilangan tempat tinggal di negara mereka sendiri tak memiliki hak berdasarkan hukum internasional dan tak mempunyai suara resmi, katanya.Laporan tersebut juga mengutip kajian kasus di Kolombia, Mali dan Myanmar, yang dulu bernama Burma, sebagai kasus utama keprihatinan.Sementara jutaan orang telah menyelamatkan diri dari perang saudara antara kelompok paramiliter dan gerilyawan dalam 20 tahun terakhir, katanya, rakyat Kolombia sekarang menyaksikan banyak lahan diambil oleh anggota paramiliter yang berubah jadi pengusaha dan membuat kebun kelapa sawit serta kebun lain.Di Myanmar, katanya, kelompok etnik minoritas seperti Karen telah menderita akibat beberapa dasawarsa kerusuhan, pengungsian dan penghukuman hanya untuk menyaksikan penguasa militer sekarang menggunakan lahan yang dibersihkan untuk membuat bendungan, pembalakan dan kebun kelapa sawit.Perubahan cuaca, katanya, akan mendorong pertumbuhan perkebunan penghasil gandum sementara negara kaya meningkatkan permintaan akan bahan bakar bio dalam upaya mengurangi buangan karbon dioksida ke atmosfir."Di Mali, ancaman akibat perubahan iklim lebih membayang lagi," katanya.Hasil pertanian telah merosot tajam sementara curah hujan berkurang dan tak beraturan, sehingga petani terpaksa meninggalkan lahan mereka agar mereka dapat menghidupi keluarga mereka.Christian Aid, yang dibentuk untuk membantu pengungsi akibat Perang Dunia II, menyiarkan laporan tersebut untuk memperingati 50 tahun pengumpulan dana dari rumah-ke-rumah di Inggris.Badan itu berharap dapat mengumpulkan 15,5 juta poundsterling (22,72 juta euro, atau 30,7 juta dolar AS). (*)
COPYRIGHT © 2007

Perdebtn mengenai GLOBAL WARMING masih''seru''!




Ketika menuliskan Global warming ‘ngga bisa’ dicegah ! tentunya banyak yang heran dan menganggap aku ngga konsen dengan lingkungan. Sebenernya bukan itu maksud saya menuliskan mengapa Global Warwing takbisa dicergah. Yang lebih penting perlu diketahui adalah bahwa yang diperlukan adalah bagaimana persiapan dan kesiapan kita “menyambut” kedatangan perubahan iklim. Persiapan “menyambut” ini lebih penting dari mencoba mencegahnya.
Nah kali ini Pak Awang H Satyana kawan dari BPMIGAS berdiskusi tentang bagaimana Global Warming ini telah menjadi sebuah “perdebatan” seru antara yang mempercayai disebabkan oleh ulah manusia dan mereka yang percaya GW hanyalah proses alami. KEdua kubu tentunya saling “melempar” hasil penemuannya.
Kata Pak Awang akhir tahun lalu, telah mendiskusikan soal penyebab pemanasan global saat ini (current global warming) apakah disebabkan alam (natural) atau manusia (man-made). Pak Awang selanjutnya menceritakan baru saja selesai membaca buku Al Gore (2006) : An Inconvenient Truth : the Planetary Emergency of Global Warming and What We Can Do about It - Rodale, New York. Ini buku yang sangat bagus, ilmiah, sederhana dalam penjelasan, santun dalam mengelola perbedaan pendapat, dan mudah dipahami. Di dalamnya banyak sekali foto2 spektakular dan info grafis yang baik sekali. Tentu Gore punya akses luas selama delapan tahun (1992-2000) sebagai wakil presiden AS ke lembaga-lembaga ilmiah di Amerika dalam mengumpulkan data yang ditampilkan dalam buku setebal 327 halaman ini. Buku ini sekaligus juga menjadi semacam otobiografi Al Gore karena Gore menganalogikan kepeduliannya kepada lingkungan sebagaimana kepeduliannya kepada keluarganya.
Buku ini merupakan the 1st New York Times Bestseller. Buku ini juga merupakan pendamping (companion) film DVD berjudul sama yang diapresiasi dengan the Academy Award untuk the best documentary feature. Usaha pembelaan linkungan Al Gore selama ini pun diganjar dengan Hadiah Nobel untuk perdamaian.
Al Gore sangat memahami perbedaan pendapat soal penyebab gobal warming. Di bawah kepemimpinan George Bush-Dick Chenney semua yang diprakarsai soal lingkungan selama masa Clinton-Gore benar2 dibalikkan. Secara ringkas, bisa dikatakan bahwa Clinton-Gore berpendapat bahwa global warming adalah masalah serius akibat manusia, sementara Bush-Chenney memandang remeh global warming dan bukan karena manusia. Di dalam buku ini, diakomodasi perbedaan2 pendapat itu, ditampilkan fakta2nya, dengan pembahasan yang menurut saya : santun.
Secara mudah perubahan iklim di bumi dapat dipikirkan adanya tiga penyebab, masing-masing berpikiran berdasarkan atas proses-proses yang terjadi bersamaan (korelasional) yaitu antara lain :
Akibat ulah manusia
Akibat perubahan sistem dari dalam bumi sendiri
Perubahan dari luar (astronomical) , misalnya perubahan sun-spot seperti disebelah kanan ini.
Pak Awang kali ini tak akan mengulas buku Al Gore terbaru itu, tetapi ingin “membenturkannya” dengan buku terbaru dari Sorokhtin et al. (2007) : Global Warming and Global Cooling : Evolution of Climate on Earth - Elsevier Amsterdam, yang ulasannya ditulis oleh Lee Gerhard di AAPG Bulletin edisi Desember 2007. Sorokhtin dkk menulis buku ini dengan prinsip “starting from first principles when examining a controversial topic is always a good approach“. Mereka mengakomodasi prinsip ini dengan ekstrim. Mereka memulai dengan teori komprehensif asal fisik dan atmosfer Bumi berdasarkan prinsip2 fisika dan geokimia. Mereka mengkuantifikasi proses2 ini dan memunculkan teori adiabatik evolusi Bumi. Perubahan iklim skala besar didekati oleh teori adiabatik evolusi atmosfer dan iklim, sementara perubahan skala kecilnya dikontrol oleh gerakan benua, daur Milankovitch, dan produk sinar Matahari.
Adiabatic Process
Sorokhtin dan kawan-kawannya menolak hipotesis bahwa global warming akibat manusia (anthropogenic). Menurut mereka, berdasarkan teori adiabatik ini, emisi gas CO2 dan gas rumah kaca lainnya yang luar biasa besarnya pun tak akan mengubah temperatur atmosfer global. Mereka juga menolak teori gas rumah kaca sebagai penyebab perubahan iklim. Menurut perhitungan berdasarkan teori adiabatik, mereka menyimpulkan bahwa di dalam waktu 600 juta tahun, kandungan oksigen di dalam atmosfer akan menyebabkan temperatur global meningkat menjadi 80 C, sehingga Bumi tak akan layak dihuni seperti sekarang.
“Teori termodinamika tentang adiabatis udah lupa je pakdhe “
Teori adiabatic ini mengacu pada teori termodinamika pada siklus kimiawi dari bumi itu sendiri. Rumitnya kandungan-kandungan gas didalam bumi sendirilah yang membuat perubahan siklus-siklus yang tidak sederhana. Proses adiabatis (no 3 dalam gambar disebelah ini) dahulu dipelajari ketiaka berbicara soal perubahan temperatur dan volume. Dalam proses adiabatik ini tidak ada kalor yang masuk maupun keluar, jadi teorinya bukan karena adnya penambahan kalor dari matahari seperti dalam gambar diatas. Proses adiabatis ini mestinya dipelajari sewaktu belajar teori thermodinamika kan ?
Sorokhtin dkk (2007) telah menantang teori gas rumah kaca sebagai penyebab perubahan iklim sebab menurut mereka teori ini masih belum cukup menjelaskan perubahan itu karena itu mereka menampilkan teori alternatif berupa teori adiabatik yang didasarkan kepada sistem dinamika Bumi.
Manakah yang benar antara Gore (2006) dan Sorokhtin et al. (2007) ? Kita bisa mengumpulkan informasi dan menganalisisnya sendiri serta menentukan pendapat pribadi. Pak Awang juga mengutipkan dua miskonsepsi dari Gore (2006) dari 10 miskonsepsi tentang global warming.(http://rovicky.wordpress.com)

DISKUSI MASALAH GAJI PEGAWAI

Saat ‘ngrumpi’ di luar tugas antara orang Indonesia dan orang Eropa saling menanya perihal penghasilan masing-masing. “Berapa gaji anda dan untuk apa saja uang sejumlah itu?,” tanya orang Indonesia mengawali pembicaraan.Orang Eropa menjawab, “Gaji saya 3.000 Euro, 1.000 euro untuk tempat tinggal, 1.000 Euro untuk makan, 500 Euro untuk hiburan."”Lalu sisa 500 Euro untuk apa?” tanya orang Indonesia. Orang Eropa menjawab secara ketus, "Oh ... itu urusan saya, Anda tidak perlu bertanya!"Kemudian orang Eropa balik bertanya, “Kalau penghasilan anda?”"Gaji saya Rp950 ribu, Rp450 ribu untuk tempat tinggal, Rp350 ribu untuk makan, Rp250 ribu untuk transport, Rp200 ribu untuk sekolah anak, Rp200 ribu, bayar cicilan pinjaman, ... Rp100 ribu untuk....".Saat orang Indonesia ‘nrocos’ menjelaskan, orang Eropa menyetop penjelasan itu dan langsung bertanya. "Uang itu jumlahnya sudah melampui gaji anda. Sisanya dari mana?," kata orang Eropa itu keheranan.Kemudian, orang Indonesia itu menjawab dengan enteng,"Begini Mister, uang yang kurang, itu urusan saya, anda tidak berhak bertanya-tanya.” (www.ketawa.com)